Udara dingin menyambut kami begitu sampai di Dieng sekitar jam 07.30 pada 24 Des 2016. Dan udara itulah yang saya rindukan sejak pertama ke Dieng pada Mei 2015. Kami segera turun di pertigaan Candi, berphoto sejenak di icon Dieng, lalu menuju tempat makan untuk sarapan dan meluruskan kaki sejenak. Perjalanan sejak jam 21.00 malam tadi dari Jakarta memang terbilang lancar, hanya tersendat saat masih berada di dalam kota. Kami melalui jalur Banjarnegara untuk menuju Dieng kali ini. Lebat hutan di kanan kiri jalur yang dilalui sudah memanjakan mata kami bahkan sampai AC dimatikan demi menikmati segar udara, selain karena jalur yang cukup menanjak dibeberapa ruas. Bahkan mobil kami sempat mundur kala hendak melalui tanjakan yang sangat tajam yang saat itu dikemudikan oleh Mbak Tri. Deg-degan sudah pasti, Alhamdulillah Bang Aank yang duduk di sebelahnya segera refleks mengerem tangan hingga tidak terjadi hal yang tak diinginkan.
Mie Ongklok menjadi pilihan favorit sarapan kali ini, meski sebagian tetap ada yang memesan nasi goreng. Saya dan Mbak Tri menikmati bekal buah yang dibawa, hanya memesan jeruk hangat sebagai pelengkap dan membungkus 2 porsi nasi goreng untuk dibawa ke atas nanti.
Selepas sarapan kami segera melanjutkan perjalanan menuju Patak Banteng. Awalnya kami ber-7, saya, Mbak Tri, Mbak Liza, Faizin, Bang Aank, Bang Noenk dan Bang Hadi, salah satu teman saat ke Sindoro juga, berencana nanjak santai melalui jalur Candi Dwarawati yang katanya cenderung landai dan turun kembali melalui Patak Banteng, namun mendadak rencana diubah. Kami akan naik dan turun kembali melalui jalur Patak Banteng kali ini. Sampai di salah satu rumah warga yang dijadikan Basecamp kami beristirahat. Membersihkan dan menyegarkan diri, dan ada yang kembali menikmati makanan yang tersedia. Tergoda dengan sayur kacang panjang, orek tempe dan ikan balado yang masih hangat akhirnya saya dan Mbak Tri juga memikmati sarapan kedua setelah buah tadi. Demikian dengan Bang Noenk dan Bang Hadi. Continue Reading